Dilihat dari model distribusinya, setidaknya ada dua macam cara bagaimana film menjangkau penonton. Yang pertama adalah distribusi bioskop reguler. Model ini mensyaratkan adanya infrastruktur berupa jejaring bioskop profesional. Yang populer di Indonesia misalnya jaringan XXI dan CGV. Bioskop ini memiliki jadwal pemutaran yang rutin (reguler) dan diatur lewat mekanisme perusahaan yang komersil atau profesional. Tak heran biasanya bioskop macam ini berlokasi di pusat perbelanjaan. Tentu saja yang diputar utamanya adalah film-film industri yang bertujuan meraup laba.
Yang kedua adalah bioskop alternatif non reguler. Bioskop ini pemutarannya tidak serutin bioskop reguler. Ada yang cuma pada hari tertentu atau bulan tertentu. Meskipun beberapa ada yang berbayar, namun biasanya tujuan utamanya lebih ke aspek kultural yang nggak komersil. Film yang diputar lebih variatif termasuk film pendek. Yang terkenal mungkin semacam Kineforum Jakarta dan MASH di Denpasar. Yang khas dari bioskop macam ini biasanya ada agenda tambahan selain memutar film yakni diskusi, talkshow, jumpa filmmaker dan lain-lain.
Jadi bioskop reguler bergerak di aspek komersil, sedangkan non reguler lebih ke aspek budaya dan komunal. Yang jadi masalah umum mungkin mengenai sustainability-nya. Bagaimana menjaga pembiayaan acara? Itu adalah hal umum yang terus menjadi pikiran para penyelenggaranya. Mengapakah bioskop non reguler ini harus ada di samping yang reguler?
Jika dilihat dari aspek ekonomi, bioskop non reguler ini alih-alih sekadar nutup modal, kebanyakan malah "boncos" mengeluarkan biaya. Ada yang harus disupport oleh funding internasional, ada yang harus meminta sokongan dari donatur dan ada yang cuma bermodal kursi dan layar yang projector saja masih pinjam. Kebanyakan bioskop alternatif susah berdiri dengan asset sendiri. Mengkomersialkan film yang diputar? Secara hitungan tidak mungkin. Apalagi pasar penontonnya juga sangat rendah. Jadi sepenting apa bioskop non reguler ini untuk dipertahankan?
Sinema adalah sebuah gerakan yang kompleks. Ada aspek industri dan ada aspek kultural. Aspek industri nggak usah ditanya, sudah jelas. Mereka cari uang dari menjual produk entertainment. Sedangkan aspek kultural adalah hal yang perlu dijaga dari hakikat seni yang sebenarnya adalah soal menjaga semangat hidup manusia. Semangat berpikir, semangat mengapresiasi dan mengekspresikan perasaan.
Yang paling mampu mengatasi aspek ini adalah gerakan-gerakan tulus di akar rumput. Diskusi-diskusi mengenai sinema, kritik-kritik sinema yang semestinya bebas dari pamrih komersial. Dari ruang tersebut akan lahir gagasan-gagasan segar dan hidup. Sinema bagaimanapun adalah cerminan jiwa masyarakat.
Atau jika kita nggak usah terlalu muluk-muluk, komunitas kecil tetap kita perlukan untuk menjaga kesadaran dalam sinema. Itu bisa cuma sekadar mendiskusikan sebuah film bikinan bersama warga satu RW, satu kelas atau cuma bikinan sendiri yang iseng. Dalam bioskop alternatif, programer adalah sosok kunci yang bisa memberi makna untuk relasi tersebut. Dia akan memberikan pandangan kenapa karya sekecil apapun bisa diapresiasi. Ini yang tidak dimungkinkan oleh bioskop reguler. Di bioskop alternatif, kita bisa memutar film spec rendah yang cuma dibikin pakai alat seadanya. Kita bisa mengaitkannya dengan wacana-wacan yang relevan. Proses kurasi nggak sekejam kurasi industri atau festival. Bioskop alternatif bisa mewadahi ekspresi yang lebih kecil dan tulus. Dengan demikian semangat sinema terjaga sejak dari api terkecilnya. Bukankah tokoh-tokoh besar sinema pun memulai aktivitas sinema juga dari ruang-ruang kecil yang tak selalu tercatat?
Tak selalu kita harus nonton di layar yang besar-besar. Menonton karya sinema kecil yang mungkin dibikin cuma sehari dengan talent para tetangga pun juga indah ketika dipresentasikan secara tepat. Nggak harus juga sebuah ruang ber-AC dengan projector mahal berlumens terang banget. Bisa pula di gudang, garasi atau di luar pakai layar tancap. Yang terpenting adaah bagaimana mengemas dan mengelola pemutaran itu. Bagaimana membangun diskusi mengenai yang ditonton. Lebih mantap lagi jika sang pembuat film juga hadir dan berbagi pengalaman. Hal beginian tidak umum di bioskop reguler. Menjembatani aspirasi di level terdekat, itulah peran kultural yang diambil oleh bioskop alternatif.